 Hari ini menemukan artikel lama yang 
menarik. Mudah-mudahan bermanfaat untuk refleksi kita semua sebagai 
orangtua. Artikel ini ditulis oleh Dewi Utama Faizah, bekerja di 
Direktorat pendidikan TK dan SD Ditjen Dikdasmen, Depdiknas, Program 
Director untuk Institut Pengembangan Pendidikan Karakter divisi dari 
Indonesia Heritage Foundation.
Berikut ini artikel selengkapnya:
Hari ini menemukan artikel lama yang 
menarik. Mudah-mudahan bermanfaat untuk refleksi kita semua sebagai 
orangtua. Artikel ini ditulis oleh Dewi Utama Faizah, bekerja di 
Direktorat pendidikan TK dan SD Ditjen Dikdasmen, Depdiknas, Program 
Director untuk Institut Pengembangan Pendidikan Karakter divisi dari 
Indonesia Heritage Foundation.
Berikut ini artikel selengkapnya:
Anak-anak yang digegas Menjadi cepat mekar Cepat matang Cepat layu…
Pendidikan bagi anak usia dini sekarang tengah marak-maraknya. Dimana
 mana orang tua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga 
persekolahan yang ada. Mereka pun berlomba untuk memberikan anak-anak 
mereka pelayanan pendidikan yang baik. Taman kanak-kanak pun berdiri 
dengan berbagai rupa, di kota hingga ke desa. Kursus-kursus kilat untuk 
anak-anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Tawaran berbagai macam
 bentuk pendidikan ini amat beragam. Mulai dari yang puluhan ribu hingga
 jutaan rupiah per bulannya. Dari kursus yang dapat membuat otak anak 
cerdas dan pintar berhitung, cakap berbagai bahasa, hingga fisik kuat 
dan sehat melalui kegiatan menari, main musik dan berenang. Dunia 
pendidikan saat ini betul-betul penuh dengan denyut kegairahan. Penuh 
tawaran yang menggiurkan yang terkadang menguras isi kantung orangtua …
Captive market! Kondisi diatas terlihat biasa saja bagi orang awam. 
Namun apabila kita amati lebih cermat, dan kita baca berbagai informasi 
di intenet dan lileratur yang ada tentang bagaimana pendidikan yang 
patut bagi anak usia dini, maka kita akan terkejut! Saat ini hampir 
sebagian besar penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak usia dini 
melakukan kesalahan. Di samping ketidakpatutan yang dilakukan oleh orang
 tua akibat ketidak tahuannya!
Anak-Anak Yang Digegas…
Ada beberapa indikator untuk melihat berbagai ketidakpatutan terhadap
 anak. Diantaranya yang paling menonjol adalah orientasi pada kemampuan 
intelektual secara dini. Akibatnya bermunculanlah anak-anak ajaib dengan
 kepintaran intelektual luar biasa. Mereka dicoba untuk menjalani 
akselerasi dalam pendidikannya dengan memperoleh pengayaan 
kecakapan-kecakapan akademik di dalam dan di luar sekolah. Kasus yang 
pernah dimuat tentang kisah seorang anak pintar karbitan ini terjadi 
pada tahun 1930, seperti yang dimuat majalah New Yorker. Terjadi pada 
seorang anak yang bernama William James Sidis, putra seorang psikiater. 
Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard College 
walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya di bidang matematika 
begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak jenius 
menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian? James 
Thurber, seorang wartawan terkemuka, pada suatu hari menemukan seorang 
pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Si anak 
ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum 
pada beberapa waktu silam.
Kisah lain tentang kehebatan kognitif yang diberdayakan juga terjadi 
pada seorang anak perempuan bernama Edith. Terjadi pada tahun 1952, di 
mana seorang Ibu yang bernama Aaron Stern telah berhasil melakukan 
eksperimen menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangan 
kognitif anaknya, sejak si anak masih berupa janin. Baru saja bayi itu 
lahir ibunya telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang 
bayi. Kemudian diajak berbicara dengan menggunakan bahasa orang dewasa. 
Setiap saat sang bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan kosa kata 
baru. Hasilnya sungguh mencengangkan! Di usia 1 tahun Edith telah dapat 
berbicara dengan kalimat sempurna. Di usia 5 tahun Edith telah 
menyelesaikan membaca ensiklopedi Britannica. Usia 9 tahun ia membaca 
enam buah buku dan Koran New York Times setiap harinya. Usia 12 tahun 
dia masuk universitas. Ketika usianya menginjak 15 tahun la menjadi guru
 matematika di Michigan State University. Aaron Stem berhasil menjadikan
 Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak 
berhingga.
Namun khabar Edith selanjutnya juga tidak terdengar lagi ketika ia 
dewasa. Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia menjadi anak, tidak 
menjadi sesuatu yang bemakna dalam kehidupan anak ketika ia menjadi 
manusia dewasa. Berbeda dengan banyak kasus legendaris orang-orang 
terkenal yang berhasil mengguncang dunia dengan penemuannya. Di saat 
mereka kecil mereka hanyalah anak-anak biasa yang terkadang juga dilabel
 sebagai murid yang dungu.
Seperti halnya Einstien yang mengalami kesulitan belajar hingga kelas
 3 SD. Dia dicap sebagai anak bebal yang suka melamun. Selama 
berpuluh-puluh tahun orang begitu yakin bahwa keberhasilan anak di masa 
depan sangat ditentukan oleh faktor kognitif. Otak memang memiliki 
kemampuan luar biasa yang tiada berhingga. Oleh karena itu banyak 
orangtua dan para pendidik tergoda untuk melakukan “Early Childhood 
Training”. Era pemberdayaan otak mencapai masa keemasannya. Setiap 
orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan anak-anak mereka menjadi
 anak-anak yang super (Superkids). Kurikulum pun dikemas dengan muatan 
90 % bermuatan kognitif yang mengfungsikan belahan otak kiri. Sementara 
fungsi belahan otak kanan hanya mendapat porsi 10% saja. 
Ketidakseimbangan dalam memfungsikan ke dua belahan otak dalam proses 
pendidikan di sekolah sangat mencolok. Hal ini terjadi sekarang di 
mana-mana, di Indonesia.
“Early Ripe, early Rot…!”
Gejala ketidakpatutan dalam mendidik ini mulai terlihat pada tahun 
1990 di Amerika. Saat orangtua dan para professional merasakan 
pentingnya pendidikan bagi anak-anak semenjak usia dini. Orangtua merasa
 apabila mereka tidak segera mengajarkan anak-anak mereka berhitung, 
membaca dan menulis sejak dini maka mereka akan kehilangan “peluang 
emas” bagi anak-anak mereka selanjutnya. Mereka memasukkan anak-anak 
mereka sesegera mungkin ke Taman Kanak-kanak (Pra Sekolah). Taman 
Kanak-kanak pun dengan senang hati menerima anak-anak yang masih berusia
 di bawah usia 4 tahun. Kepada anak-anak ini gurunya membelajarkan 
membaca dan berhitung secara formal sebagai pemula.
Terjadinya kemajuan radikal dalam pendidikan usia dini di Amerika 
sudah dirasakan saat Rusia meluncurkan Sputnik pada tahun 1957. Mulailah
 “Era Headstart” merancah dunia pendidikan. Para akademisi begitu 
optimis untuk membelajarkan wins dan matematika kepada anak sebanyak dan
 sebisa mereka (tiada berhingga). Sementara mereka tidak tahu banyak 
tentang anak, apa yang mereka butuhkan dan inginkan sebagai anak.
Puncak keoptimisan era Headstart diakhiri dengan pernyataan Jerome 
Bruner, seorang psikolog dari Harvard University yang menulis sebuah 
buku terkenal “The Process of Education” pada tahun 1990. Ia menyatakan 
bahwa kompetensi anak untuk belajar sangat tidak berhingga. Inilah buku 
suci pendidikan yang mereformasi kurikulum pendidikan di Amerika . “We 
begin with the hypothesis that any subject can be taught effectively in 
some intellectually honest way to any child at any stage of 
development”.
Inilah kalimat yang merupakan hipotesis Bruner yang di salahartikan 
oleh banyak pendidik, yang akhirnya menjadi bencana! Pendidikan 
dilaksanakan dengan cara memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka 
cepat matang dan cepat busuk… early ripe, early rot!
Anak-anak menjadi tertekan. Mulai dari tingkat pra sekolah hingga 
usia SD. Di rumah para orangtua kemudian juga melakukan hal yang sama, 
yaitu mengajarkan sedini mungkin anak-anak mereka membaca ketika Glenn 
Doman menuliskan kiat-kiat praktis membelajarkan bayi membaca.
Bencana berikutnya datang saat Arnold Gesell memaparkan konsep 
“kesiapan-readiness ” dalam ilmu psikologi perkembangan temuannya yang 
mendapat banyak decakan kagum. Ia berpendapat tentang “biological 
limititations on learning’. Untuk itu ia menekankan perlunya dilakukan 
intervensi dini dan rangsangan inlelektual dini kepada anak agar mereka 
segera siap belajar apapun.
Tekanan yang bertubi-tubi dalam memperoleh kecakapan akademik di 
sekolah membuat anak-anak menjadi cepat mekar. Anak -anak menjadi 
“miniature orang dewasa “. Lihatlah sekarang, anak-anak itu juga 
bertingkah polah sebagaimana layaknya orang dewasa. Mereka berpakaian 
seperti orang dewasa, berlaku pun juga seperti orang dewasa. Di sisi 
lain media pun merangsang anak untuk cepat mekar terkait dengan musik, 
buku, film, televisi, dan internet. Lihatlah maraknya program teve yang 
belum pantas ditonton anak anak yang ditayangkan di pagi atau pun sore 
hari. Media begitu merangsang keingintahuan anak tentang dunia seputar 
orang dewasa. sebagai seksual promosi yang menyesatkan. Pendek kata 
media telah memekarkan bahasa, berpikir dan perilaku anak tumbuh kembang
 secara cepat.
Tapi apakah kita tahu bagaimana tentang emosi dan perasaan anak? 
Apakah faktor emosi dan perasaan juga dapat digegas untuk dimekarkan 
seperti halnya kecerdasan? Perasaan dan emosi ternyata memiliki waktu 
dan ritmenya sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit. Bisa saja 
anak terlihat berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi 
perasaan mereka tidak seperti orang dewasa. Anak-anak memang terlihat 
tumbuh cepat di berbagai hal tetapi tidak di semua hal. Tumbuh mekarnya 
emosi sangat berbeda dengan tumbuh mekarnya kecerdasan (intelektual) 
anak. Oleh karena perkembangan emosi lebih rumit dan sukar, terkait 
dengan berbagai keadaan, Cobalah perhatikan, khususnya saat perilaku 
anak menampilkan gaya “kedewasaan “, sementara perasaannya menangis 
berteriak sebagai “anak”.
Seperti sebuah lagu popular yang pernah dinyanyikan suara emas 
seorang anak laki-laki “Heintje” di era tahun 70-an… I’m Nobody’S Child 
I’M NOBODY’S CHILD I’M nobody’s child I’m nobodys child Just like a 
flower I’m growing wild No mommies kisses and no daddy’s smile Nobody’s 
louch me I’m nobody’s child.
Dampak berikutnya terjadi … ketika anak memasuki usia remaja. Akibat 
negatif lainnya dari anak-anak karbitan terlihat ketika ia memasuki usia
 remaja. Mereka tidak segan segan mempertontonkan berbagai macam 
perilaku yang tidak patut. Patricia O’Brien menamakannya sebagai “The 
Shrinking of Childhood”. Lu belum tahu ya… bahwa gue telah melakukan 
segalanya”, begitu pengakuan seorang remaja pria berusia 12 tahun kepada
 teman-temannya. “Gue tahu apa itu minuman keras, drug, dan seks ” 
serunya bangga.
Berbagai kasus yang terjadi pada anak-anak karbitan memperlihatkan 
bagaimana pengaruh tekanan dini pada anak akan menyebabkan berbagai 
gangguan kepribadian dan emosi pada anak. Oleh karena ketika semua 
menjadi cepat mekar…. kebutuhan emosi dan sosial anak jadi tak 
dipedulikan! Sementara anak sendiri membutuhkan waktu untuk tumbuh, 
untuk belajar dan untuk berkembang, sebuah proses dalam kehidupannya !
Saat ini terlihat kecenderungan keluarga muda lapisan menengah ke 
atas yang berkarier di luar rumah tidak memiliki waktu banyak dengan 
anak-anak mereka. Atau pun jika si ibu berkarier di dalam rumah, ia 
lebih mengandalkan tenaga “baby sitter” sebagai pengasuh anak-anaknva. 
Colette Dowling menamakan ibu-ibu muda kelompok ini sebagai “Cinderella 
Syndrome” yang senang window shopping, ikut arisan, ke salon memanjakan 
diri, atau menonton telenovela atau buku romantis. Sebagai bentuk ilusi 
menghindari kehidupan nyata yang mereka jalani.
Kelompok ini akan sangat bangga jika anak-anak mereka bersekolah di 
lembaga pendidikan yang mahal, ikut berbagai kegiatan kurikuler, ikut 
berbagai Les, dan mengikuti berbagai arena, seperti lomba penyanyi 
cilik, lomba model ini dan itu. Para orangtua ini juga sangat bangga 
jika anak-anak mereka superior di segala bidang, bukan hanya di sekolah.
 Sementara orangtua yang sibuk juga mewakilkan diri mereka kepada baby 
sitter terhadap pengasuhan dan pendidikan anak-anak mereka. Tidak jarang
 para baby sitter ini mengikuti pendidikan parenting di lembaga 
pendidikan eksekutif sebagai wakil dari orang tua.
ERA SUPERKIDS
Kecenderungan orangtua menjadikan anaknva “be special ” daripada “be 
average or normal” semakin marak terlihat. Orangtua sangat ingin 
anak-anak mereka menjadi “to excel to be the best”. Sebetulnya tidak ada
 yang salah. Namun ketika anak-anak mereka digegas untuk mulai mengikuti
 berbagai kepentingan orangtua untuk menyuruh anak mereka mengikuti 
beragam kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik, sempoa, renang, 
basket, balet, tari ball, piano, biola, melukis, dan banyak lagi 
lainnya…maka lahirlah anak-anak super—”SUPERKIDS’ “. Cost merawat anak 
superkids ini sangat mahal.
Era Superkids berorientasi kepada “Competent Child”. Orangtua saling 
berkompetisi dalam mendidik anak karena mereka percaya “earlier is 
better”. Semakin dini dan cepat dalam menginvestasikan beragam 
pengetahuan ke dalam diri anak mereka, maka itu akan semakin baik. Neil 
Posmant seorang sosiolog Amerika pada tahun 80-an meramalkan bahwa jika 
anak-anak tercabut dari masa kanak-kanaknya, maka lihatlah… ketika anak 
anak itu menjadi dewasa, maka ia akan menjadi orang dewasa yang ke 
kanak-kanakan!
BERBAGAI GAYA ORANGTUA
Kondisi ketidakpatutan dalam memperIakukan anak ini telah melahirkan 
berbagai gaya orangtua (Parenting Style) yang melakukan kesalahan 
“mis-education” terhadap pengasuhan pendidikan anak-anaknya. Elkind 
(1989) mengelompokkan berbagai gaya orangtua dalam pengasuhan, antara 
lain:
Gourmet Parents– (ORTU B0RJU)
Mereka adalah kelompok pasangan muda yang sukses. Memiliki rumah 
bagus, mobil mewah, liburan ke tempat-tempat yang eksotis di dunia, 
dengan gaya hidup kebarat baratan. Apabila menjadi orangtua maka mereka 
akan cenderung merawat anak-anaknya seperti halnya merawat karier dan 
harta mereka. Penuh dengan ambisi! Berbagai macam buku akan dibaca 
karena ingin tahu isu-isu mutakhir tentang cara mengasuh anak. Mereka 
sangat percaya bahwa tugas pengasuhan yang baik seperti halnya membangun
 karier, maka “superkids” merupakan bukti dari kehebatan mereka sebagai 
orangtua. Orangtua kelompok ini memakaikan anak-anaknya baju-baju mahal 
bermerek terkenal, memasukkannya ke dalam program-program eksklusif yang
 prestisius. Keluar masuk restoran mahal. Usia 3 tahun anak-anak mereka 
sudah diajak tamasya keliling dunia mendampingi orangtuanya. Jika suatu 
saat kita melihat sebuah sekolah yang halaman parkirnya dipenuhi oleh 
berbagai merek mobil terkenal, maka itulah sekolah banyak kelompok 
orangtua “gourmet ” atau kelompok borju menyekolahkan anak-anaknya.
College Degree Parents — (ORTU INTELEK )
Kelompok ini merupakan bentuk lain dari keluarga intelek yang menengah 
ke atas. Mereka sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Sering 
melibatkan diri dalam barbagai kegiatan di sekolah anaknya. Misalnya 
membantu membuat majalah dinding dan kegiatan ekstra kurikular lainnya. 
Mereka percaya pendidikan yang baik merupakan pondasi dari kesuksesan 
hidup. Terkadang mereka juga tergiur menjadikan anak-anak mereka 
“Superkids “, apabila si anak memperlihatkan kemampuan akademik yang 
tinggi. Terkadang mereka juga memasukkan anak-anaknya ke sekolah mahal 
yang prestisius sebagai bukti bahwa mereka mampu dan percaya bahwa 
pendidikan yang baik tentu juga harus dibayar dengan pantas. Kelebihan 
kelompok ini adalah sangat peduli dan kritis terhadap kurikulum yang 
dilaksanakan di sekolah anak anaknya. Dan dalam banyak hal mereka banyak
 membantu dan peduli dengan kondisi sekolah.
Gold Medal Parents –(ORTU SELEBRITIS )
Kelompok ini adalah kelompok orangtua yang menginginkan anak-anaknya 
menjadi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Mereka sering mengikutkan 
anaknya ke berbagai kompetisi dan gelanggang. Ada gelanggang ilmu 
pengetahuan seperti Olimpiade matematika dan sains yang akhir-akhir ini 
lagi marak di Indonesia . Ada juga gelanggang seni seperti ikut 
menyanyi, kontes menari, terkadang kontes kecantikan. Berbagai cara akan
 mereka tempuh agar anak-anaknya dapat meraih kemenangan dan menjadi 
“seorang Bintang Sejati “. Sejak dini mereka persiapkan anak-anak mereka
 menjadi “Sang Juara”, mulai dari juara renang, menyanyi dan melukis 
hingga none abang cilik kelika anak-anak mereka masih berusia TK.
Sebagai ilustrasi dalam sebuah arena lomba ratu cilik di Padang 
puluhan anak-anak TK baik laki-laki maupun perempuan tengah menunggu di 
mulainya lomba pakaian adat. Ruangan yang sesak, penuh asap rokok, dan 
acara yang molor menunggu datangnya tokoh anak dari Jakarta. Anak-anak 
mulai resah, berkeringat, mata memerah karena keringat melelehi mascara 
anak kecil mereka. Para orangtua masih bersemangat, membujuk 
anak-anaknya bersabar.
Mengharapkan acara segera di mulai dan anaknya akan kelular sebagai 
pemenang. Sementara pihak penyelenggara mengusir panas dengan berkipas 
kertas. Banyak kasus yang mengenaskan menimpa diri anak akibat perilaku 
ambisi kelompok gold medal parents ini. Sebagai contoh pada tahun 70-an 
seorang gadis kecil pesenam usia TK mengalami kelainan tulang akibat 
ambisi ayahnya yang guru olahraga. Atau kasus “bintang cilik” Yoan 
Tanamal yang mengalami tekanan hidup dari dunia glamour masa 
kanak-kanaknya. Kemudian menjadikannya pengguna dan pengedar narkoba 
hingga menjadi penghuni penjara. Atau bintang cilik dunia Heintje yang 
setelah dewasa hanya menjadi pasien dokter jiwa. Gold medal parent 
menimbulkan banyak bencana pada anak-anak mereka!
Pada tanggal 29 Mei lalu kita saksikan di TV bagaimana bintang cilik 
“Joshua” yang bintangnya mulai meredup dan mengkhawatirkan orangtuanya. 
Orangtua Joshua berambisi untuk kembali menjadikan anaknya seorang 
bintang dengan kembali menggelar konser tunggal. Sebagian dari kita 
tentu masih ingat bagaimana lucu dan pintarnya Joshua ketika berumur 
kurang 3 tahun. Dia muncul di TV sebagai anak ajaib karena dapat 
menghapal puluhan nama-nama kepala negara. Kemudian di usia balitanya 
dia menjadi penyanyi cilik terkenal. Kita kagum bagaimana seorang bapak 
yang tamatan SMU dan bekerja di salon dapat membentuk dan menjadikan 
anaknya seorang “superkid” –seorang penyanyi sekaligus seorang bintang 
film….
Do-it Yourself Parents
Merupakan kelompok orangtua yang mengasuh anak-anaknya secara alami dan 
menyatu dengan semesta. Mereka sering menjadi pelayan professional di 
bidang sosial dan kesehatan, sebagai pekerja sosial di sekolah, di 
tempat ibadah, di Posyandu dan di perpustakaan. Kelompok ini 
menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri yang tidak begitu mahal dan
 sesuai dengan keuangan mereka. Walaupun begitu kelompok ini juga 
bemimpi untuk menjadikan anak-anaknya “Superkids” –earlier is better”. 
Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak mereka diajak mencintai 
lingkungannya. Mereka juga mengajarkan merawat dan memelihara hewan atau
 tumbuhan yang mereka sukai. Kelompok ini merupakan kelompok penyayang 
binatang, dan mencintai lingkungan hidup yang bersih.
Outward Bound Parents— (ORTU PARANOID)
Untuk orangtua kelompok ini mereka memprioritaskan pendidikan yang dapat
 memberi kenyamanan dan keselamatan kepada anak-anaknya. Tujuan mereka 
sederhana, agar anak-anak dapat bertahan di dunia yang penuh dengan 
permusuhan. Dunia di luar keluarga mereka dianggap penuh dengan 
marabahaya. Jika mereka menyekolahkan anak-anaknya maka mereka lebih 
memilih sekolah yang nyaman dan tidak melewati tempat tempat tawuran 
yang berbahaya. Seperti halnya Do It Yourself Parents, kelompok ini 
secara tak disengaja juga terkadang terpengaruh dan menerima konsep 
“Superkids”. Mereka mengharapkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang 
hebat agar dapat melindungi diri mereka dari berbagai macam marabahaya. 
Terkadang mereka melatih kecakapan melindungi diri dari bahaya, seperti 
memasukkan anak-anaknya “Karate, Yudo, pencak Silat” sejak dini. 
Ketidakpatutan pemikiran kelompok ini dalam mendidik anak-anaknya adalah
 bahwa mereka terlalu berlebihan melihat marabahaya di luar rumah tangga
 mereka, mudah panik dan ketakutan melihat situasi yang selalu mereka 
pikir akan membawa dampak buruk kepada anak. Akibatnya anak-anak mereka 
menjadi “steril” dengan lingkungannya.
Prodigy Parents –(ORTU INSTANT)
Merupakan kelompok orangtua yang sukses dalam karier namun tidak 
memiliki pendidikan yang cukup. Mereka cukup berada, namun tidak 
berpendidikan yang baik. Mereka memandang kesuksesan mereka di dunia 
bisnis merupakan bakat semata. Oleh karena itu mereka juga memandang 
sekolah dengan sebelah mata, hanya sebagai kekuatan yang akan 
menumpulkan kemampuan anak-anaknya.
Tidak kalah mengejutkannya, mereka juga memandang anak-anaknya akan 
hebat dan sukses seperti mereka tanpa memikirkan pendidikan seperti apa 
yang cocok diberikan kepada anak-anaknya. Oleh karena itu mereka sangat 
mudah terpengaruh kiat-kiat atau cara unik dalam mendidik anak tanpa 
bersekolah. Buku-buku instant dalam mendidik anak sangat mereka sukai. 
Misalnya buku tentang “Kiat-Kiat Mengajarkan bayi Membaca” karangan 
Glenn Doman , atau “Kiat-Kiat Mengajarkan Bayi Matematika” karangan 
Siegfried, “Berikan Anakmu pemikiran Cemerlang” karangan Therese 
Engelmann, dan “Kiat-Kiat Mengajarkan Anak Dapat Membaca Dalam Waktu 9 
Hari” karangan Sidney Ledson.
Encounter Group Parents–( ORTU NGERUMPI )
Merupakan kelompok orangtua yang memiliki dan menyenangi pergaulan. 
Mereka terkadang cukup berpendidikan, namun tidak cukup berada atau 
terkadang tidak memiliki pekerjaan tetap (luntang lantung). Terkadang 
mereka juga merupakan kelompok orangtua yang kurang bahagia dalam 
perkawinannya.
Mereka menyukai dan sangat mementingkan nilai-nilai relationship 
dalam membina hubungan dengan orang lain. Sebagai akibatnya kelompok ini
 sering melakukan ketidakpatutan dalam mendidik anak-anak dengan 
berbagai perilaku “gang ngrumpi” yang terkadang mengabaikan anak. 
Kelompok ini banyak membuang-buang waktu dalam kelompoknya sehingga 
mengabaikan fungsi mereka sebagai orangtua. Atau pun jika mereka 
memiliki aktivitas di kelompokya lebih berorientasi kepada kepentingan 
kelompok mereka. Kelompok ini sangat mudah terpengaruh dan latah untuk 
memilihkan pendidikan bagi anak-anaknya. Menjadikan anak-anak mereka 
sebagai “Superkids” juga sangat diharapkan. Namun banyak dari anak anak 
mereka biasanya kurang menampilkan minat dan prestasi yang diharapkan.
Milk and Cookies Parents-(ORTU IDEAL)
Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang memiliki 
masa kanak-kanak yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang 
sehat dan manis. Mereka cenderung menjadi orangtua yang hangat dan 
menyayangi anak-anaknya dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan 
mengiringi tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan.
Kelompok ini tidak berpeluang menjadi orangtua yang melakukan 
“miseducation” dalam merawat dan mengasuh anak-anaknya. Mereka 
memberikan lingkungan yang nyaman kepada anak-anaknya dengan penuh 
perhatian, dan tumpahan cinta kasih yang tulus sebagai orang tua.
Mereka memenuhi rumah tangga mereka dengan buku-buku, lukisan dan 
musik yang disukai oleh anak-anaknya. Mereka berdiskusi di ruang makan, 
bersahabat dan menciptakan lingkungan yang menstimulasi anak-anak mereka
 untuk tumbuh mekar segala potensi dirinya. Anak-anak mereka pun 
meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh kenangan indah yang 
menyebabkan. Kehangatan hidup berkeluarga menumbuhkan kekuatan rasa yang
 sehat pada anak untuk percaya diri dan antusias dalam kehidupan 
belajar.
Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang menjalankan tugasnya 
dengan patut kepada anak-anak mereka. Mereka begitu yakin bahwa anak 
membutuhkan suatu proses dan waktu untuk dapat menemukan sendiri 
keistimewaan yang dimilikinya. Dengan kata lain mereka percaya bahwa 
anak sendirilah yang akan menemukan sendiri kekuatan di dirinya. Bagi 
mereka setiap anak adalah benar-benar seorang anak yang hebat dengan 
kekuatan potensi yang juga berbeda dan unik!
Kamu harus tahu bahwa tiada satu pun yang lebih tinggi, atau lebih 
kuat, atau lebih baik, atau pun lebih berharga dalam kehidupan nanti 
daripada kenangan indah; terutama kenangan manis di masa kanak-kanak. 
Kamu mendengar banyak hal tentang pendidikan, namun beberapa hal yang 
indah, kenangan berharga yang tersimpan sejak kecil adalah mungkin itu 
pendidikan yang terbaik. Apabila seseorang menyimpan banyak kenangan 
indah di masa kecilnya, maka kelak seluruh kehidupannya akan 
terselamatkan. Bahkan apabila hanya ada satu saja kenangan indah yang 
tersiampan dalam hati kita, maka itulah kenangan yang akan memberikan 
satu hari untuk keselamatan kita” (destoyevsky’ s brothers karamoz)
PERSPEKTIF SEKOLAH YANG MENGKARBIT ANAK
Kecenderungan sekolah untuk melakukan pengkarbitan kepada anak didiknya 
juga terlihat jelas. Hal ini terjadi ketika sekolah berorientasi kepada 
produk daripada proses pembelajaran. Sekolah terlihat sebagai sebuah 
“Industri” dengan tawaran-tawaran menarik yang mengabaikan kebutuhan 
anak. Ada program akselerasi, ada program kelas unggulan. Pekerjaan 
rumah yang menumpuk. Tugas-tugas dalam bentuk hanya lembaran kerja. 
Kemudian guru-guru yang sibuk sebagai “Operator kurikulum” dan tidak 
punya waktu mempersiapkan materi ajar karena rangkap tugas sebagai 
administrator sekolah. Sebagai guru kelas yang mengawasi dan mengajar 
terkadang lebih dari 40 anak, guru hanya dapat menjadi “pengabar isi 
buku pelajaran” ketimbang menjalankan fungsi edukatif dalam 
menfasilitasi pembelajaran. Di saat-saat tertentu sekolah akan 
menggunakan “mesin-mesin dalam menskor” capaian prestasi yang diperoleh 
anak setelah diberikan ujian berupa potongan-potongan mata pelajaran. 
Anak didik menjadi dimiskinkan dalam menjalani pendidikan di sekolah. 
Pikiran mereka diforsir untuk menghapalkan atau melakukan tugas-tugas 
yang tidak mereka butuhkan sebagai anak.
Manfaat apa yang mereka peroleh jika guru menyita anak membuat bagan 
organisasi sebuah birokrasi? Manfaat apa yang dirasakan anak jika mereka
 diminta membuat PR yang menuliskan susunan kabinet yang ada di 
pemerintahan? Manfaat apa yang dimiliki anak jika ia disuruh menghapal 
kalimat-kalimat yang ada di dalam buku pelajaran? Tumpulnya rasa dalam 
mencerna apa yang dipikirkan oleh otak dengan apa yang direfleksikan 
dalam sanubari dan perilaku-perilaku keseharian mereka sebagai anak 
menjadi semakin senjang. Anak-anak tahu banyak tentang pengetahuan yang 
dilatihkan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum 
persekolahan, namun mereka bingung mengimplementasikan dalam kehidupan 
nyata. Sepanjang hari mereka bersekolah di sekolah untuk sekolah? dengan
 tugas-tugas dan PR yang menumpuk….
Namun sekolah tidak mengerti bahwa anak sebenarnya butuh bersekolah 
untuk menyongsong kehidupannya! Lihatlah, mereka semua belajar dengan 
cara yang sama. Membangun 90 % kognitif dengan 10 % afektif. Paulo 
Freire mengatakan bahwa sekolah telah melakukan “pedagogy of the 
oppressed” terhadap anak-anak didiknya. Di mana guru mengajar, anak 
diajar, guru mengerti semuanya dan anak tidak tahu apa-apa, guru 
berpikir dan anak dipikirkan, guru berbicara dan anak mendengarkan, guru
 mendisiplin dan anak didisiplin, guru memilih dan mendesakkan 
pilihannya dan anak hanya mengikuti, guru bertindak dan anak hanya 
membayangkan bertindak lewat cerita guru, guru memilih isi program dan 
anak menjalaninya begitu saja, guru adalah subjek dan anak adalah objek 
dari proses pembelajaran (Freire,1993). Model pembelajaran banking 
system ini dikritik habis-habisan sebagai masalah kemanusiaan terbesar. 
Belum lagi persaingan antar sekolah. dan persaingan ranking wilayah….
Mengkompetensi Anak— merupakan ” KETIDAKPATUTAN PENDIDIKAN”
Anak adalah anugrah Tuhan… sebagai hadiah kepada semesta alam, tetapi 
citra anak dibentuk oleh sentuhan tangan-tangan manusia dewasa yang 
bertanggungjawab. “(Nature versus Nurture) bagaimana ?” Karena ada dua 
pengertian kompetensi. kompetensi yang datang dari kebutuhan di luar 
diri anak (direkayasa oleh orang dewasa) atau kompetensi yang sesuai 
dengan kebutuhan dari dalam diri anak sendiri.
Sebagai contoh adalah konsep kompetensi yang dikemukakan oleh John 
Watson (psikolog) pada tahun 1920 yang mengatakan bahwa bayi dapat 
ditempa menjadi apapun sesuai kehendak kita; sebagai komponen sentral 
dari konsep kompetensi. Jika bayi-bayi mampu jadi pembelajar, maka 
mereka juga dapat dibentuk melalui pembelajaran dini.
Kata-kata Watson yang sangat terkenal adalah sebagai berikut : “Give 
me a dozen healthy infants, well formed and my own special world to 
bring them up in, and I’ll guarantee you to take any one at random and 
train him to become any type of specialist I might select — doctor, 
lawyer, artist, merchant chief and yes, even beggar and thief regardless
 of this talents, penchants, tendencies, vocations, and race of his 
ancestors “
Pemikiran Watson membuat banyak orang tua melahirkan “intervensi 
dini” setelah mereka melakukan serangkaian tes Inteligensi kepada 
anak-anaknya. Ada sebuah kasus kontroversi yang terjadi di Institut New 
Jersey pada tahun 1979. Di mana guru-guru melakukan serangkaian program 
tes untuk mengukur “Kecakapan Dasar Minimum (Minimum Basic Skill)” dalam
 mata pelajaran membaca dan matematika. Hasil dari pelaksanaan program 
ini dilaporkan kolomnis pendidikan Fred Hechinger kepada New York Times 
sebagai berikut : “The improvement in those areas were not the result of
 any magic program or any singular teaching strategy, they were… simply 
proof that accountability is crucial and that, in the past five years, 
it has paid off in New Yersey.”
Juga belajar dari biografi tiga orang tokoh legendaris dunia seperti 
Eleanor Roosevelt, Albert Einstein dan Thomas Edison, yang 
diilustrasikan sebagai anak-anak yang bodoh dan mengalami keterlambatan 
dalam akademik ketika mereka bersekolah di SD kelas rendah. Semestinya 
kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan dini sangat berbahaya jika 
dibuatkan kompetensi-kompetensi perolehan pengetahuan hanya secara 
kognitif.
Oleh karena hingga hari ini sekolah belum mampu menjawab dan dapat 
menampilkan kompetensi emosi sosial anak dalam proses pembelajaran. 
Pendidikan anak seutuhnya yang terkait dengan berbagai aspek seperti 
emosi, sosial, kognitif pisik, dan moral belum dapat dikemas dalam 
pembelajaran di sekolah secara terintegrasi. Sementara pendidikan sejati
 adalah pendidikan yang mampu melibatkan berbagai aspek yang dimiliki 
anak sebagai kompetensi yang beragam dan unik untuk dibelajarkan. Bukan 
anak dibelajarkan untuk di tes dan di skor saja!. Pendidikan sejati 
bukanlah paket-paket atau kemasan pembelajaran yang berkeping-keping, 
tetapi bagaimana secara spontan anak dapat terus menerus merawat minat 
dan keingintahuan untuk belajar. Anak mengenali tumbuh kembang yang 
terjadi secara berkelangsungan dalam kehidupannya. Perilaku 
keingintahuan -”curiosity” inilah yang banyak tercabut dalam sistem 
persekolahan kita. Akademik Bukanlah Keutuhan Dari Sebuah Pendidikan!. 
“Empty Sacks will never stand upright” — George Eliot
Pendidikan anak seutuhnya tentu saja bukan hanya mengasah kognitif 
melalui kecakapan akademik semata! Sebuah pendidikan yang utuh akan 
membangun secara bersamaan, pikiran, hati, pisik, dan jiwa yang dimiliki
 anak didiknya. Membelajarkan secara serempak pikiran, hati. dan pisik 
anak akan menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup mereka. Di 
sinilah dibutuhkannya peranan guru sebagai pendidik akademik dan 
pendidik sanubari “karakter”. Di mana mereka mendidik anak menjadi “good
 and smart ” terang hati dan pikiran.
Sebuah pendidikan yang baik akan melahirkan “how learn to learn” pada
 anak didik mereka. Guru-guru yang bersemangat memberi keyakinan kepada 
anak didiknya bahwa mereka akan memperoleh kecakapan berpikir tinggi, 
dengan berpikir kritis, dan cakap memecahkan masalah hidup yang mereka 
hadapi sebagai bagian dari proses mental. Pengetahuan yang terbina 
dengan baik yang melibatkan aspek kognitif dan emosi, akan melahirkan 
berbagai kreativitas.
Leonardo da Vinci seorang pelukis besar telah menghabiskan waktunya 
berjam-jam untuk belajar anatomi tubuh manusia. Thomas Edison mengatakan
 bahwa “genius is 1 percent inspiration and 99 percent perspiration “.
Semangat belajar “encourage” tidak dapat muncul tiba-tiba di diri 
anak. Perlu proses yang melibatkan hati, kesukaan dan kecintaan belajar.
 Sementara di sekolah banyak anak patah hati karena gurunya yang tidak 
mencintai mereka sebagai anak. Selanjutnya misi sekolah lainnya yang 
paling fundamental adalah mengalirkan “moral litermy” melalui pendidikan
 karakter. Kita harus ingat bahwa kecerdasan saja tidak cukup. 
Kecerdasan plus karakter inilah tujuan sejati sebuah pendidikan (Martin 
Luther King, Jr ). lnilah keharmonisan dari pendidikan, bagaimana 
menyeimbangkan fungsi otak kiri dan kanan, antara kecerdasan hati dan 
pikiran, antara pengetahuan yang berguna dengan perbuatan yang baik ….
PENUTUP
Mengembalikan pendidikan pada hakikatnya untuk menjadikan manusia yang 
terang hati dan terang pikiran “good and smart” merupakan tugas kita 
bersama. Melakukan reformasi dalam pendidikan merupakan kerja keras yang
 mesti dilakukan secara serempak, antara sekolah dan masyarakat, 
khususnya antara guru dan orangtua. Pendidikan yang ada sekarang ini 
banyak yang tidak berorientasi kepada kebutuhan anak sehingga tidak 
dapat memekarkan segala potensi yang dimiliki anak. Atau pun jika ada 
yang terjadi adalah ketidakseimbangan yang cenderung memekarkan aspek 
kognitif dan mengabaikan faktor emosi.
Begitu juga orangtua. Mereka berkecenderungan melakukan training dini
 kepada anak. Mereka ingin anak-anak mereka menjadi “SUPERKIDS”. Inilah 
fenomena yang sedang trend akhir-akhir ini. Inilah juga awal dari 
lahirnya era anak-anak karbitan! Lihatlah nanti ketika anak-anak 
karbitan itu menjadi dewasa, maka mereka akan menjadi orang dewasa yang 
ke kanak-kanakan